Monday, 27 October 2014

sistem pilkada



SISTEM PILKADA LANGSUNG, ADAKAH YANG LEBIH BAIK ?
Catatan dari Focus Group Discussion (FGD) 2 Desember 2010
 MPR RI – FISIP UNDIP

Oleh UNGGUL SUGI HARTO
            Hiruk pikuk Pilkada langsung yang saat ini memasuki paruh putaran kedua 2010 sejak putaran pertama 2005 agaknya menimbulkan banyak gugatan. Gugatan tersebut berpangkal pada berbagai implikasi berlangsungnya sistem tersebut yang dituduh kontraproduktif serta menggilas etika dan norma politik. Bahkan isu panas yang saat ini berkembang tentang Yogyakarta, dan mendudukan SBY dengan Ngarso Dalem HB X secara diametral tidak lepas dari wacana tentang tatacara Pilkada. Gejala seperti kekerasan/kerusuhan, money politic atau bahkan biaya yang relatif besar dalam pilkada langsung agaknya tidak seimbang dengan hasil yang didapatkan terpilihnya sepasang elite daerah. Kondisi ini tentu saja memprihatinkan semua pihak dan salah satunya  MPR RI mengadakan road show diberbagai perguruan tinggi guna membahas dari berbagai sisi atas sistem pilkada langsung.
Beberapa Regulasi Pilkada Tak Langsung

             Munculnya sistem pilkada langsung tentus saja tidak serta merta dalam aturan main demokrasi di Indonesia. Pilkada langsung yang saat ini menjadi landasan pemilihan elite daerah Kabupaten/kota atau propinsi setidaknya berdiri dalam dua alur besar pemikiran demokrasi nasional. Pertama Pilkada langsung jelas terinspirasi atas model pemilu presiden yang secara lansung. Kedua bahwa pilkada langsung hakekatnya merupakan antithesa dari produk  UU tentang pemerintah daerah baik UU No. 5/1974 ataupun UU 22/1999 yang membebankan suksesi elite daerah dilakukan oleh DPRD. Amanat kedua UU tersebut jelas bahwa sistem pilkada adalah tidak langsung (indirected), DPRD berwenang penuh untuk memilih elite daerah.

            UU No. 5/1974 tentu dimafhumi sangat sentralistis, kental dengan nuansa restu pusat kekuasan. Sudah menjadi rahasia umum saat itu bahwa bupati/walikota atau gubernur berada dalam jalur yang menurut H. Mardiyanto (2010) dikenal ABG (ABRI, Birokrat, Golkar). Tercatat hanya 1-2 orang bupati seperti alm H. Tadjudin Noraly (kab. Brebes) yang berada di luar jalur tersebut dan itupun berada dipenghujung runtuhnya Orde Baru. DPRD yang telah ada saat itu tidak berkutik, dan penentu elite daerah benar – benar monopoli pusat kekuasaan. Model pilkada langsung sperti ini tentu saja banyak menunjukan sisi negatifnya, bukan saja bersifat sangat elitis tetapi juga menunjukan otoriterisme Pusat terhadap daerah. Belum lagi bahwa model jelas tidak memungkinkan suara publik muncul walaupun hanya untuk dipertimbangkan.

            Reformasi yang berlangsung, menjadikan titik sentral kekuasaan dipaksa dipencar atas nama demokrasi, dan salah satu tanda adalah munculnya UU 22/1999. Desentralisi politik terjadi dimana perundangan memberikan mandat penuh pada DPRD untuk melakukan proses suksesi elite. Apa yang terjadi ketika 20 orang – 45 atau sekitar 100 orang anggota parlemen daerah memilih gubernur, bupati dan walikota. Dalam paparannya, Fitriyah (2010) terbuka kemungkinan terjadinya praktik dagang sapi (money politics) oleh anggota DPRD ataupun oligarki parlemen. Ataupun yang kemudian terpilih adalah figur – figur elite daerah yang tidak sesuai dengan harapan rakyat. Parlemen daerah bisa “bermain” karena tentu saja kontrol publik ataupun lembaga berwenang sangat sulit menjangkau atas proses, atau tingkat keterbukaan proses hanya bersifat formal. 

Apakah sistem pilkada tak langsung versi UU 22/1999  nihil dari konflik, tindakan kekerasan dan kerusuhan? Tenyata model pilkada versi UU 22/1999 pun memiliki catatan yang cukup panjang atas konflik, kekerasan dan kerusuhan massa. Bubarnya sidang pemilihan Bupati DPRD lampung selatan tgl 31/1/2000 karena dikepung massa,  bentrokan pendukung saat pelantikan Bupati sampang 7/9/200 bahkan bakar-bakaran pasca Pilwalkot Kota Tegal  9/10/2004. Model ini pun jelas walaupun meminimalisir keterlibatan massa dalam pemilihan elite daerah (pemilih hanya anggota DPRD), namun tidak menjamin bersih dari konflik. Bahkan konflik lebih dalam dan berbahaya karena cenderung jelas sasarannya yaitu fungsionaris partai ataupun anggota DPRD berhadapan dengan massa pendukung secara luas ataupun antar pendukung calon. Secara pembiayaan model pemilihan ini berskala ratusan juta tetapi jumlah orang yang terlibatpun hanya puluhan sampai ratusan orang saja.
Pilkada Langsung, no system perfect...

Pilkada langsung kemudian menjadi pilihan seiring dengan dikeluarkannya UU 32/2004 yang tentu saja sebagai wujud keinginan berubah dan berada dalam tata sistem pilkada yang lebih baik. Menurut Nordolt dan Van Klinken (2007; 20)  pemilukada langsung hakekatnya memberikan posisi yang kuat bagi administrator daerah disatu pihak untuk lebih dependen pada negara pusat, tetapi dipihak lain menjadi lebih kuat dalam hubungan dengan DPRD , sebab mereka bisa memanfaatkan mandat rakyat. Dan berarti pilkada langsung memperkuat rakyat sebagai penentu atas elite daerah, dimana elite terpilih merupakan hasil suara terbanyak.
Dalam paparan Budi Setiyono (2010),  setelah berlangsung sekian waktu pilkada langsung setidaknya memiliki problem biaya besar, kecenderungan re-kapitalisasi kandidat terpilih dan potensi disintegrasi dan kerusuhan sosial. Pilkada langsung diakui memiliki biaya besar, dan hal ini sebenarnya berkorelasi positif dengan jumlah orang yang terlibat. Pilkada langsung melibatkan ratusan ribu orang sampai dengan puluhan juta orang, dan tentu saja berdampak ekonomi luas. Dan menurut Fitriyah bahwa anggaran Pilkada lansung yang besar kembali kepada rakyat dalam berbagai bentuk honor, atribut ataupun terciptanya keramaian saat kampanye.
Problem seperti re-kapitalisasi kandidat atau keinginan untuk mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan dan munculnya disintegrasi atau konflik juga perlu mendapat perhatian. Kedua problem tersebut hakekatnya terletak pada bagaimana menciptakan Pilkada langsung yang murah dari sisi kandidat.  Dan konflik sebenarnya bisa diminimalisir dengan tindakan preventif dan penegakan hukum yang tegas dari aparat. Dan dari perbandingan konflik yang terjadi ternyata tidak melokalisir pilkada pada tingkat tidak langsung, belum tentu menjamin bebas konflik

Rekomendasi - rekomendasi
Terlepas dari kondisi – kondisi yang melingkupi Pilkada langsung agaknya antara peserta dan para pemrasaran melihat bahwa Pilkada Langsung  masih lebih menjanjikan, dibandingkan pilkada tak langsung yang elitis dan juga sulit dikontrol. Apa yang muncul dilapangan adalah tidak lepas dari masalah konsekuensi teknis sistem yang tidak sempurna, dan wajar adanya. Sebagai satu sistem maka perbaikan – perbaikan yang ada sangatlah memungkinkan dan setidaknya ada 2 bentuk model perbaikan yang harus dilakukan bersamaan. Perbaikan Struktural, hal ini dimaksudkan untuk mengatasi problem teknis dilembaga yang terkait langsung dengan Pilkada langsung. Kejelasan aturan, rekruitmen atas sumber daya manusia pelaksana ataupun penegakan hukum atas pelanggaran dilakukan secara tegas. Atau menurut Fitriyah (2010) sebagai peningkatan atas Kualitas Administratif (ketepatan jadwal, kesiapan regulasi atau anggaran dan daftar pemilih) dan  Kualitas Politis dimana konflik bisa minimal dan independensi penyelenggara.
Perbaikan Kultural, hal ini dimaksudkan untuk peningkatkan kualitas Pilkada lansung pada produk pemimpin ataupun terbentuknya pemilih berkualitas pula. Gejala yang disebut Ratnawati (2010) sebagai “kapitalisasi Pilkada” dimana cukong – cukong dengan sejumlah uang bermain sebagai penentu kemenangan bisa diminimalisir. Rakyat sebagai pemilih harus diedukasi dengan lebih serius mengenai penting memilih pemimpin berkualitas berbasiskan visi, misi, kebijakan dan program yang jelas, bukan karena sejumlah uang yang diterima.
Sistem Pilkada langsung tidaklah gagal dalam menentukan kualitas elite daerah, setidaknya ada seperti Walikota Solo Joko Widodo atau Walikota Yogyakarta H. Herry Zudianto yang mendapat apresiasi dari banyak pihak dan kalangan atas beragam prestasinya. Sistem pasti ada celah dan tentu saja ada kecenderungan dari pihak – pihak yang terlibat dalam pilkada langsung untuk memanfaatkan. Perbaikan sistem tentu menjadi bagian penting, dimana celah dan kelemahan bisa ditutup dan bukan berarti harus mendudukan lagi rakyat pada bangku penonton drama berjudul “suksesi elite daerah”.

PERBANDINGAN PILKADA
Berbagai Versi UU 5/1974, UU 22/1999 dan UU 32/2004
Oleh Unggul Sugi Harto

VARIABEL
UU
NO.  5 / 1974
UU
NO.  22 / 1999
UU
NO. 32 /2004

MODEL PEMILIHAN


Tak Langsung

Tak langsung

Langsung

STRUKTUR PENENTU PILIHAN

DPRD
(Intervensi Pusat kekuasaan)
SENTRALISASI

DPRD
(Oligarki Parlemen)
Desentralisasi Terbatas


PEMILIH / RAKYAT
Desentralisasi penuh

BESAR ANGGARAN


Ratusan Juta

Ratusan Juta s/d Milyar


Milyar s/d Ratusan Milyar
JUMLAH KETERLIBATAN ORANG (baik sebagai penyelenggara / pemilih)

Puluhan Orang

Puluhan s/d Ratusan Orang

Puluhan Ribu s/d Puluhan Juta

POTENSI KONFLIK

Hampir Tidak ada

ADA

ADA

PERHATIAN PUBLIK

RENDAH

SEDANG

TINGGI
JAMINAN PELAKSANAAN HAK UNTUK MEMILIH DAN DIPILIH

TERBATAS

TERBATAS

SELUAS – LUASNYA

EFEK EKONOMI

TERBATAS

TERBATAS

LUAS
KUALITAS KEPEMIMPINAN YANG DIHASILKAN

BELUM PASTI

BELUM PASTI

BELUM PASTI

KEMUNGKINAN MONEY POLITICS

ADA

ADA

ADA

TATA CARA PENCALONAN

Partai Politik

Partai Politik

Partai Politik dan Inividual /Independen
Sumber : diolah dari
-          Budi Setiyono, Pilkadal, Logika Demokrasi dan Desentralisasi (2010)
-          Fitriyah, Meninjau Ulang Sistem Pilkada Langsung : Masukan Pilkadal Langsung Berkualitas (2010)
-          Paparan H. Mardiyanto
-          Masukan – masukan dari peserta FGD.


Kandidat Master Ilmu Politik UNDIP, pengajar pada FISIP UPS Tegal.

No comments:

Post a Comment