SISTEM PILKADA LANGSUNG, ADAKAH YANG LEBIH BAIK ?
Catatan dari Focus Group Discussion (FGD) 2 Desember 2010
MPR RI – FISIP
UNDIP
Oleh UNGGUL SUGI
HARTO
Hiruk pikuk Pilkada langsung yang
saat ini memasuki paruh putaran kedua 2010 sejak putaran pertama 2005 agaknya
menimbulkan banyak gugatan. Gugatan tersebut berpangkal pada berbagai implikasi
berlangsungnya sistem tersebut yang dituduh kontraproduktif serta menggilas
etika dan norma politik. Bahkan isu panas yang saat ini berkembang tentang
Yogyakarta, dan mendudukan SBY dengan Ngarso
Dalem HB X secara diametral tidak
lepas dari wacana tentang tatacara Pilkada. Gejala seperti kekerasan/kerusuhan,
money politic atau bahkan biaya yang
relatif besar dalam pilkada langsung agaknya tidak seimbang dengan hasil yang
didapatkan terpilihnya sepasang elite daerah. Kondisi ini tentu saja
memprihatinkan semua pihak dan salah satunya
MPR RI mengadakan road show
diberbagai perguruan tinggi guna membahas dari berbagai sisi atas sistem
pilkada langsung.
Beberapa Regulasi Pilkada Tak Langsung
Munculnya sistem pilkada langsung tentus saja
tidak serta merta dalam aturan main demokrasi di Indonesia. Pilkada langsung
yang saat ini menjadi landasan pemilihan elite daerah Kabupaten/kota atau
propinsi setidaknya berdiri dalam dua alur besar pemikiran demokrasi nasional.
Pertama Pilkada langsung jelas terinspirasi atas model pemilu presiden yang
secara lansung. Kedua bahwa pilkada langsung hakekatnya merupakan antithesa dari produk UU tentang pemerintah daerah baik UU No. 5/1974
ataupun UU 22/1999 yang membebankan suksesi
elite daerah dilakukan oleh DPRD. Amanat kedua UU tersebut jelas bahwa
sistem pilkada adalah tidak langsung (indirected),
DPRD berwenang penuh untuk memilih elite daerah.
UU No. 5/1974 tentu dimafhumi sangat
sentralistis, kental dengan nuansa restu pusat kekuasan. Sudah menjadi rahasia
umum saat itu bahwa bupati/walikota atau gubernur berada dalam jalur yang
menurut H. Mardiyanto (2010) dikenal ABG (ABRI, Birokrat, Golkar). Tercatat
hanya 1-2 orang bupati seperti alm H. Tadjudin Noraly (kab. Brebes) yang berada
di luar jalur tersebut dan itupun berada dipenghujung runtuhnya Orde Baru. DPRD
yang telah ada saat itu tidak berkutik, dan penentu elite daerah benar – benar
monopoli pusat kekuasaan. Model pilkada langsung sperti ini tentu saja banyak
menunjukan sisi negatifnya, bukan saja bersifat sangat elitis tetapi juga
menunjukan otoriterisme Pusat terhadap daerah. Belum lagi bahwa model jelas
tidak memungkinkan suara publik muncul walaupun hanya untuk dipertimbangkan.
Reformasi yang berlangsung,
menjadikan titik sentral kekuasaan dipaksa dipencar atas nama demokrasi, dan
salah satu tanda adalah munculnya UU 22/1999. Desentralisi politik terjadi
dimana perundangan memberikan mandat penuh pada DPRD untuk melakukan proses suksesi elite. Apa yang terjadi ketika
20 orang – 45 atau sekitar 100 orang anggota parlemen daerah memilih gubernur,
bupati dan walikota. Dalam paparannya, Fitriyah (2010) terbuka kemungkinan
terjadinya praktik dagang sapi (money
politics) oleh anggota DPRD ataupun oligarki parlemen. Ataupun yang
kemudian terpilih adalah figur – figur elite daerah yang tidak sesuai dengan
harapan rakyat. Parlemen daerah bisa “bermain” karena tentu saja kontrol publik
ataupun lembaga berwenang sangat sulit menjangkau atas proses, atau tingkat
keterbukaan proses hanya bersifat formal.
Apakah
sistem pilkada tak langsung versi UU 22/1999
nihil dari konflik, tindakan kekerasan dan kerusuhan? Tenyata model
pilkada versi UU 22/1999 pun memiliki catatan yang cukup panjang atas konflik,
kekerasan dan kerusuhan massa. Bubarnya sidang pemilihan Bupati DPRD lampung
selatan tgl 31/1/2000 karena dikepung massa,
bentrokan pendukung saat pelantikan Bupati sampang 7/9/200 bahkan
bakar-bakaran pasca Pilwalkot Kota Tegal
9/10/2004. Model ini pun
jelas walaupun meminimalisir keterlibatan massa dalam pemilihan elite daerah
(pemilih hanya anggota DPRD), namun tidak menjamin bersih dari konflik. Bahkan
konflik lebih dalam dan berbahaya karena cenderung jelas sasarannya yaitu
fungsionaris partai ataupun anggota DPRD berhadapan dengan massa pendukung secara
luas ataupun antar pendukung calon. Secara pembiayaan model pemilihan ini berskala
ratusan juta tetapi jumlah orang yang terlibatpun hanya puluhan sampai ratusan
orang saja.
Pilkada Langsung, no
system perfect...
Pilkada
langsung kemudian menjadi pilihan seiring dengan dikeluarkannya UU 32/2004 yang
tentu saja sebagai wujud keinginan berubah dan berada dalam tata sistem pilkada
yang lebih baik. Menurut Nordolt
dan Van
Klinken (2007; 20) pemilukada langsung
hakekatnya memberikan posisi yang kuat bagi administrator daerah disatu pihak
untuk lebih dependen pada negara pusat, tetapi dipihak lain menjadi lebih kuat
dalam hubungan dengan DPRD , sebab mereka bisa memanfaatkan mandat rakyat. Dan berarti
pilkada langsung memperkuat rakyat sebagai penentu atas elite daerah, dimana
elite terpilih merupakan hasil suara terbanyak.
Dalam
paparan Budi Setiyono (2010), setelah
berlangsung sekian waktu pilkada langsung setidaknya memiliki problem biaya besar,
kecenderungan re-kapitalisasi kandidat terpilih dan potensi disintegrasi dan
kerusuhan sosial. Pilkada langsung diakui memiliki biaya besar, dan hal ini
sebenarnya berkorelasi positif dengan jumlah orang yang terlibat. Pilkada
langsung melibatkan ratusan ribu orang sampai dengan puluhan juta orang, dan
tentu saja berdampak ekonomi luas. Dan menurut Fitriyah bahwa anggaran Pilkada
lansung yang besar kembali kepada rakyat dalam berbagai bentuk honor, atribut
ataupun terciptanya keramaian saat kampanye.
Problem
seperti re-kapitalisasi kandidat atau keinginan untuk mengembalikan biaya yang
telah dikeluarkan dan munculnya disintegrasi atau konflik juga perlu mendapat
perhatian. Kedua problem tersebut hakekatnya terletak pada bagaimana
menciptakan Pilkada langsung yang murah dari sisi kandidat. Dan konflik sebenarnya bisa diminimalisir
dengan tindakan preventif dan penegakan hukum yang tegas dari aparat. Dan dari
perbandingan konflik yang terjadi ternyata tidak melokalisir pilkada pada
tingkat tidak langsung, belum tentu menjamin bebas konflik
Rekomendasi - rekomendasi
Terlepas
dari kondisi – kondisi yang melingkupi Pilkada langsung agaknya antara peserta
dan para pemrasaran melihat bahwa Pilkada Langsung masih lebih menjanjikan, dibandingkan pilkada
tak langsung yang elitis dan juga sulit dikontrol. Apa yang muncul dilapangan
adalah tidak lepas dari masalah konsekuensi teknis sistem yang tidak sempurna,
dan wajar adanya. Sebagai satu sistem maka perbaikan – perbaikan yang ada
sangatlah memungkinkan dan setidaknya ada 2 bentuk model perbaikan yang harus
dilakukan bersamaan. Perbaikan Struktural, hal ini
dimaksudkan untuk mengatasi problem teknis dilembaga yang terkait langsung
dengan Pilkada langsung. Kejelasan aturan, rekruitmen atas sumber daya manusia
pelaksana ataupun penegakan hukum atas pelanggaran dilakukan secara tegas. Atau
menurut Fitriyah (2010) sebagai peningkatan atas Kualitas Administratif
(ketepatan jadwal, kesiapan regulasi atau anggaran dan daftar pemilih) dan Kualitas Politis dimana konflik bisa minimal
dan independensi penyelenggara.
Perbaikan
Kultural, hal ini dimaksudkan untuk peningkatkan kualitas Pilkada lansung pada
produk pemimpin ataupun terbentuknya pemilih berkualitas pula. Gejala yang
disebut Ratnawati (2010) sebagai “kapitalisasi Pilkada” dimana cukong – cukong
dengan sejumlah uang bermain sebagai penentu kemenangan bisa diminimalisir.
Rakyat sebagai pemilih harus diedukasi dengan lebih serius mengenai penting
memilih pemimpin berkualitas berbasiskan visi, misi, kebijakan dan program yang
jelas, bukan karena sejumlah uang yang diterima.
Sistem Pilkada
langsung tidaklah gagal dalam menentukan kualitas elite daerah, setidaknya ada
seperti Walikota Solo Joko Widodo atau Walikota Yogyakarta H. Herry Zudianto yang mendapat
apresiasi dari banyak pihak dan kalangan atas beragam prestasinya. Sistem pasti
ada celah dan tentu saja ada kecenderungan dari pihak – pihak yang terlibat
dalam pilkada langsung untuk memanfaatkan. Perbaikan sistem tentu menjadi
bagian penting, dimana celah dan kelemahan bisa ditutup dan bukan berarti harus
mendudukan lagi rakyat pada bangku penonton drama berjudul “suksesi elite
daerah”.
PERBANDINGAN PILKADA
Berbagai Versi UU 5/1974, UU 22/1999 dan UU 32/2004
Oleh Unggul Sugi Harto
VARIABEL
|
UU
NO. 5 / 1974
|
UU
NO. 22 / 1999
|
UU
NO. 32 /2004
|
MODEL PEMILIHAN
|
Tak Langsung
|
Tak langsung
|
Langsung
|
STRUKTUR PENENTU PILIHAN
|
DPRD
(Intervensi Pusat kekuasaan)
SENTRALISASI
|
DPRD
(Oligarki Parlemen)
Desentralisasi Terbatas
|
PEMILIH / RAKYAT
Desentralisasi penuh
|
BESAR ANGGARAN
|
Ratusan Juta
|
Ratusan Juta s/d Milyar
|
Milyar s/d Ratusan Milyar
|
JUMLAH KETERLIBATAN ORANG (baik sebagai penyelenggara /
pemilih)
|
Puluhan Orang
|
Puluhan s/d Ratusan Orang
|
Puluhan Ribu s/d Puluhan Juta
|
POTENSI KONFLIK
|
Hampir Tidak ada
|
ADA
|
ADA
|
PERHATIAN PUBLIK
|
RENDAH
|
SEDANG
|
TINGGI
|
JAMINAN PELAKSANAAN HAK UNTUK MEMILIH DAN DIPILIH
|
TERBATAS
|
TERBATAS
|
SELUAS – LUASNYA
|
EFEK EKONOMI
|
TERBATAS
|
TERBATAS
|
LUAS
|
KUALITAS KEPEMIMPINAN YANG DIHASILKAN
|
BELUM PASTI
|
BELUM PASTI
|
BELUM PASTI
|
KEMUNGKINAN MONEY POLITICS
|
ADA
|
ADA
|
ADA
|
TATA CARA PENCALONAN
|
Partai Politik
|
Partai Politik
|
Partai Politik dan Inividual /Independen
|
Sumber : diolah dari
-
Budi Setiyono, Pilkadal,
Logika Demokrasi dan Desentralisasi (2010)
-
Fitriyah, Meninjau
Ulang Sistem Pilkada Langsung : Masukan Pilkadal Langsung Berkualitas
(2010)
-
Paparan H. Mardiyanto
-
Masukan – masukan dari peserta FGD.
Kandidat Master Ilmu Politik UNDIP, pengajar pada
FISIP UPS Tegal.
No comments:
Post a Comment