SISTEM POLITIK INDONESIA
Kemampuan
suatu sistem politik menurut Almond terdiri atas kemampuan regulatif,
ekstraktif, distributif, simbolis, dan responsif. Almond menyebutkan bahwa pada
negara-negara demokratis, output dari kemampuan regulatif, ekstraktif, dan
distributif lebih dipengaruhi oleh tuntutan dari kelompok-kelompok kepentingan
sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat demokratis memiliki kemampuan
responsif yang lebih tinggi daripada masyarakat non demokratis. Sementara pada
sistem totaliter, output yang dihasilkan kurang responsif pada tuntuan,
perilaku regulatif bercorak paksaan, serta lebih menonjolkan kegiatan
ekstraktif dan simbolik maksimal atas sumber daya masyarakatnya.
- Kemampuan ekstraktif
adalah kemampuan sistem politik dalam mendayagunakan sumber-sumber
daya material ataupun manusia baik yang berasal dari lingkungan domestik
(dalam negeri) maupun internasional. Dalam hal kemampuan ekstraktif ini
Indonsia lebih besar ketimbang Timor Leste, karena faktor sumber daya
manusia maupun hasil-hasil alam yang dimilikinya. Namun, kemampuan
Indonesia dalam konteks ini lebih kecil ketimbang Cina.
- Kemampuan
regulatif
adalah kemampuan sistem politik dalam mengendalikan perilaku serta
hubungan antar individu ataupun kelompok yang ada di dalam sistem politik.
Dalam konteks kemampuan ini sistem politik dilihat dari sisi banyaknya
regulasi (undang-undang dan peraturan) yang dibuat serta intensitas
penggunaannya karena undang-undang dan peraturan dibuat untuk dilaksanakan
bukan disimpan di dalam laci pejabat dan warganegara. Selain itu,
kemampuan regulatif berkaitan dengan kemampuan ekstraktif di
mana proses ekstraksi membutuhkan regulasi.
- Kemampuan
distributif adalah
kemampuan sistem politik dalam mengalokasikan barang, jasa, penghargaan,
status, serta nilai-nilai (misalnya seperti nilai yang dimaksud Lasswell)
ke seluruh warganegaranya. Kemampuan distributif ini berkaitan
dengan kemampuan regulatif karena untuk melakukan proses distribusi
diperlukan rincian, perlindungan, dan jaminan yang harus disediakan sistem
politik lewat kemampuan regulatif-nya.
- Kemampuan
simbolik
adalah kemampuan sistem politik untuk secara efektif memanfaatkan
simbol-simbol yang
dimilikinya untuk dipenetrasi ke dalam masyarakat maupun lingkungan
internasional. Misalnya adalah lagu-lagu nasional, upacara-upacara,
penegasan nilai-nilai yang dimiliki, ataupun pernyataan-pernyataan khas
sistem politik. Simbol adalah representasi kenyataan dalam bahasa ataupun
wujud sederhana dan dapat dipahami oleh setiap warga negara. Simbol dapat
menjadi basis kohesi sistem politik karena mencirikan identitas bersama.
Salah satu tokoh politik Indonesia yang paling mahir dalam mengelola
kemampuan simbolik ini adalah Sukarno dan pemerintah Indonesia di masa
Orde Baru.
- Kemampuan
responsif adalah
kemampuan sistem politik untuk menyinkronisasi tuntutan yang masuk melalui
input dengan keputusan dan tindakan yang diambil otoritas politik di lini
output. Sinkronisasi ini terjadi tatkala pemerintahan SBY mampu melakukan
sinkronisasi antara tuntutan pihak Gerakan Aceh Merdeka dengan keputusan
untuk melakukan perundingan dengan mereka serta melaksanakan kesepakatan
Helsinki hasil mediasi. Sinkronisasi ini membuat tuntutan dari Aceh tidak
lagi meninggi kalau bukan sama sekali lenyap.
Berdasarkan berbagai sumber dan informasi saya selaku penulis menganalisis
tentang kapabilitas politik dengan di perkuat oleh materi perkulihan Uwes Fatoni, M.Ag pada tanggal 28 maret 2006.
Sejarah
Sistem Politik Indonesia bisa dilihat dari proses politik yang terjadi di
dalamnya. Namun dalam menguraikannya tidak cukup sekedar melihat sejarah Bangsa
Indonesia tapi diperlukan analisis sistem agar lebih efektif. Dalam proses
politik biasanya di dalamnya terdapat interaksi fungsional yaitu proses aliran
yang berputar menjaga eksistensinya. Sistem politik merupakan sistem yang
terbuka, karena sistem ini dikelilingi oleh lingkungan yang memiliki tantangan
dan tekanan.
Dalam
melakukan analisis sistem bisa dengan pendekatan satu segi pandangan saja
seperti dari sistem kepartaian, tetapi juga tidak bisa dilihat dari pendekatan
tradisional dengan melakukan proyeksi sejarah yang hanya berupa pemotretan
sekilas. Pendekatan yang harus dilakukan dengan pendekatan integratif yaitu
pendekatan sistem, pelaku-saranan-tujuan dan pengambilan keputusan
Proses
politik mengisyaratkan harus adanya kapabilitas sistem. Kapabilitas sistem
adalah kemampuan sistem untuk menghadapi kenyataan dan tantangan. Pandangan
mengenai keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini berbeda diantara para
pakar politik. Ahli politik zaman klasik seperti Aristoteles dan Plato dan
diikuti oleh teoritisi liberal abad ke-18 dan 19 melihat prestasi politik
dikuru dari sudut moral. Sedangkan pada masa modern sekarang ahli politik
melihatnya dari tingkat prestasi (performance level) yaitu seberapa
besar pengaruh lingkungan dalam masyarakat, lingkungan luar masyarakat dan
lingkungan internasional.
Pengaruh
ini akan memunculkan perubahan politik. Adapun pelaku perubahan politik bisa
dari elit politik, atau dari kelompok infrastruktur politik dan dari lingkungan
internasional.
Perubahan
ini besaran maupun isi aliran berupa input dan output. Proes mengkonversi input
menjadi output dilakukan oleh penjaga gawang (gatekeeper).
Terdapat
5 kapabilitas yang menjadi penilaian prestasi sebuah sistem politik :
1. Kapabilitas Ekstraktif, yaitu
kemampuan Sumber daya alam dan sumber daya manusia. Kemampuan SDA biasanya
masih bersifat potensial sampai kemudian digunakan secara maksimal oleh pemerintah.
Seperti pengelolaan minyak tanah, pertambangan yang ketika datang para penanam
modal domestik itu akan memberikan pemasukan bagi pemerintah berupa pajak.
Pajak inilah yang kemudian menghidupkan negara.
2. Kapabilitas Distributif. SDA yang
dimiliki oleh masyarakat dan negara diolah sedemikian rupa untuk dapat
didistribusikan secara merata, misalkan seperti sembako yang diharuskan dapat
merata distribusinya keseluruh masyarakat. Demikian pula dengan pajak sebagai
pemasukan negara itu harus kembali didistribusikan dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah.
3. Kapabilitas Regulatif
(pengaturan). Dalam menyelenggaran pengawasan tingkah laku individu dan
kelompok maka dibutuhkan adanya pengaturan. Regulasi individu sering
memunculkan benturan pendapat. Seperti ketika pemerintah membutuhkan maka
kemudian regulasi diperketat, hal ini mengakibatkan keterlibatan masyarakat
terkekang.
4. kapabilitas simbolik, artinya
kemampuan pemerintah dalam berkreasi dan secara selektif membuat kebijakan yang
akan diterima oleh rakyat. Semakin diterima kebijakan yang dibuat pemerintah
maka semakin baik kapabilitas simbolik sistem.
5. kapabilitas responsif, dalam
proses politik terdapat hubungan antara input dan output, output berupa
kebijakan pemerintah sejauh mana dipengaruhi oleh masukan atau adanya
partisipasi masyarakat sebagai inputnya akan menjadi ukuran kapabilitas
responsif.
6. kapabilitas dalam negeri dan
internasional. Sebuah negara tidak bisa sendirian hidup dalam dunia yang
mengglobal saat ini, bahkan sekarang banyak negara yang memiliki kapabilitas
ekstraktif berupa perdagangan internasional. Minimal dalam kapabilitas
internasional ini negara kaya atau berkuasa (superpower) memberikan
hibah (grants) dan pinjaman (loan) kepada negara-negara
berkembang.
Ada
satu pendekatan lagi yang dibutuhkan dalam melihat proses politik yaitu
pendekatan pembangunan, yang terdiri dari 2 hal:
a. Pembangunan politik masyarakat
berupa mobilisasi, partisipasi atau pertengahan. Gaya agregasi kepentingan
masyarakat ini bisa dilakukans ecara tawaran pragmatik seperti yang digunakan
di AS atau pengejaran nilai yang absolut seperti di Uni Sovyet atau
tradisionalistik.
b. Pembangunan politik pemerintah
berupa stabilitas politik
PROSES
POLITIK DI INDONESIA
Sejarah
Sistem politik Indonesia dilihat dari proses politiknya bisa dilihat dari
masa-masa berikut ini:
- Masa prakolonial
- Masa kolonial (penjajahan)
- Masa Demokrasi Liberal
- Masa Demokrasi terpimpin
- Masa Demokrasi Pancasila
- Masa Reformasi
Masing-masing
masa tersebut kemudian dianalisis secara sistematis dari aspek :
Penyaluran tuntutan
Pemeliharaan nilai
Kapabilitas
Integrasi vertikal
Integrasi horizontal
Gaya politik
Kepemimpinan
Partisipasi massa
Keterlibatan militer
Aparat negara
Stabilitas
Bila
diuraikan kembali maka diperoleh analisis sebagai berikut :
1. Masa prakolonial (Kerajaan)
Penyaluran tuntutan – rendah dan
terpenuhi
Pemeliharaan nilai – disesuikan
dengan penguasa atau pemenang peperangan
Kapabilitas – SDA melimpah
Integrasi vertikal – atas bawah
Integrasi horizontal – nampak
hanya sesama penguasa kerajaan
Gaya politik - kerajaan
Kepemimpinan – raja, pangeran dan
keluarga kerajaan
Partisipasi massa – sangat rendah
Keterlibatan militer – sangat kuat
karena berkaitan dengan perang
Aparat negara – loyal kepada
kerajaan dan raja yang memerintah
Stabilitas – stabil dimasa aman
dan instabil dimasa perang
2. Masa kolonial (penjajahan)
Penyaluran tuntutan – rendah dan
tidak terpenuhi
Pemeliharaan nilai – sering
terjadi pelanggaran ham
Kapabilitas – melimpah tapi
dikeruk bagi kepentingan penjajah
Integrasi vertikal – atas bawah
tidak harmonis
Integrasi horizontal – harmonis
dengan sesama penjajah atau elit pribumi
Gaya politik – penjajahan, politik
belah bambu (memecah belah)
Kepemimpinan – dari penjajah dan
elit pribumi yang diperalat
Partisipasi massa – sangat rendah
bahkan tidak ada
Keterlibatan militer – sangat
besar
Aparat negara – loyal kepada
penjajah
Stabilitas – stabil tapi dalam
kondisi mudah pecah
3. Masa Demokrasi Liberal
Penyaluran tuntutan – tinggi tapi
sistem belum memadani
Pemeliharaan nilai – penghargaan
HAM tinggi
Kapabilitas – baru sebagian yang
dipergunakan, kebanyakan masih potensial
Integrasi vertikal – dua arah,
atas bawah dan bawah atas
Integrasi horizontal-
disintegrasi, muncul solidarity makers dan administrator
Gaya politik - ideologis
Kepemimpinan – angkatan sumpah
pemuda tahun 1928
Partisipasi massa – sangat tinggi,
bahkan muncul kudeta
Keterlibatan militer – militer
dikuasai oleh sipil
Aparat negara – loyak kepada
kepentingan kelompok atau partai
Stabilitas - instabilitas
4. Masa Demokrasi terpimpin
Penyaluran tuntutan – tinggi tapi
tidak tersalurkan karena adanya Front nas
Pemeliharaan nilai – Penghormatan
HAM rendah
Kapabilitas – abstrak, distributif
dan simbolik, ekonomi tidak maju
Integrasi vertikal – atas bawah
Integrasi horizontal – berperan
solidarity makers,
Gaya politik – ideolog, nasakom
Kepemimpinan – tokoh kharismatik
dan paternalistik
Partisipasi massa - dibatasi
Keterlibatan militer – militer
masuk ke pemerintahan
Aparat negara – loyal kepada
negara
Stabilitas - stabil
5. Masa Demokrasi Pancasila
Penyaluran tuntutan – awalnya
seimbang kemudian tidak terpenuhi karena fusi
Pemeliharaan nilai – terjadi
Pelanggaran HAM tapi ada pengakuan HAM
Kapabilitas – sistem terbuka
Integrasi vertikal – atas bawah
Integrasi horizontal - nampak
Gaya politik – intelek, pragmatik,
konsep pembangunan
Kepemimpinan – teknokrat dan ABRI
Partisipasi massa – awalnya bebas
terbatas, kemudian lebih banyak dibatasi
Keterlibatan militer – merajalela
dengan konsep dwifungsi ABRI
Aparat negara – loyal kepada
pemerintah (Golkar)
Stabilitas stabil
6. Masa Reformasi
Penyaluran tuntutan – tinggi dan
terpenuhi
Pemeliharaan nilai – Penghormatan
HAM tinggi
Kapabilitas –disesuaikan dengan
Otonomi daerah
Integrasi vertikal – dua arah,
atas bawah dan bawah atas
Integrasi horizontal – nampak,
muncul kebebasan (euforia)
Gaya politik - pragmatik
Kepemimpinan – sipil,
purnawiranan, politisi
Partisipasi massa - tinggi
Keterlibatan militer - dibatasi
Aparat negara – harus loyal kepada
negara bukan pemerintah
Stabilitas - instabil