Tuesday 28 October 2014

PSIKOLOGI POLITIK NEW



PSIKOLOGI POLITIK NEW

Psikologi politik adalah ilmu yang mencoba menjelaskan perilaku politik, sangat mementingkan faktor situasi dimana perilaku itu terjadi. Irisan antara psikologi dengan politik, terutama psikologi sebagai ilmu tentang perilaku manusia dapat menjelaskan gejala dan fenomena politik.
Indencisive adalah sikap seseorang yang tidak pernah berani memilih salah satu/ mengambil keputusan  yang tegas dengan segala resiko dan konsekuensinya.
Distinctive adalah segala sesuatu kalau bisa dibiarkan mengambang menjadi sesuatu yang ambigu tanpa watak dan kepribadian yang jelas.
Split personality (kepribadian yang terpecah) adalah perbedaan perilaku seseorang antara dunia privat dan publik. Contohnya bersikap profesional/ membedakan posisi diri kita sendiri seperti ketika kita dirumah dengan kita di tempat kerja harus dipisahkan baik sikap dan kepentingannya.
Schizophrenia adalah sakit jiwa parah, terganggunya ketidak sinkronan fungsi pola fikir, pola merasa, dan pola bertindak dari seseorang. Atau keberadaannya meresahkan namun dirinya mampu mengsetting dirinya itu di anggap tidak masalah. Contohnya sumanto, ryan jombang.

·         Konsekuensi dari perilaku indencisive:
1.      Tdk pernah belajar mengatasi kesulitan dengan sungguh sungguh
2.      tidak pernah belajar mengkalkutasi resiko dan berani bertanggung jawab atas segala resiko sebagai akibat dari suatu pilihan
3.      kita menjadi tidak toleran dengan segala perbedaan
·         bahaya aliansi politik
1.      sukarnya mendorong tingkat partisipasi politik yang lebih tinggi dan konstruktif.
2.      Meningkatnya ketidakpercayaan politik
3.      Dukungan terhadap keberlanjutan(political support dan political sustainability) bisa terancam.
Kepemimpinan politik adalah pola interaksi dari faktor karakter personal pemimpin, karakteristik dari konstituen yang dipimpin, pola interaksi diantara keduanya, serta pengaruh dari suatu konteks sejarah, politik, sosial dan budaya tertentu.
Pemimpin kharismatik (menurut teori great person theory), pemimpin kharismatik adalah orang orang dengan kharakteristik kepribadian yang luar biasa, terutama sifat sifat(traits) yang dimilikinya.
Ciri pemimpin kharismatik(menurut house 1997, dan conger 1991):
1.      Tingkat kepasrahan, kesetiaan , ketakziman, dan keterpesonaan yang tinggi
2.      Antusiasme yang terlalu berlebihan dan tanpa sikap kritis terhadap ide-ide pemimpin tadi
3.      Kesediaan untuk berkorban demi ide-ide dan tujuan tujuan besar yang dilontarkan pemimpin
4.      Kemampuan bertindak luar biasa yang mampu digerakan oleh pemimpin kepada pengikutnya.
Etnonasionalisme adalah paham kebangsan dengan sentimen etnis(agama,ras) sebagai basis.
Pencegahan etnonasionalisme :
1.      Hentikan pendekatan koersif dalam menyikapi semangat etnonasionalisme.
2.      Pengakuan akan identitas etnis sebatas pengertian kultural saja
3.      Perlu mengingatkan semua kelompok yang mungkin berpotensi menjadi etnonasinalisme
4.      Hentikan semua bentuk pelanggaran HAM.





"GOLPUT MENJADI SALAH SATU PILIHAN?"



“Golput menjadi salah satu pilihan masyarakat”
Pemilu adalah proses dimana akan dipilihnya pemimpin pemerintahan ataupun anggota pemerintahan yang mana di pilih langsung oleh masyarakat sebagai wujud demokrasi. Disini setiap orang berhak memilih siapa saja yang dianggap pantas sebagai pemimpin sesuai dengan calon yang ada dan masyarakatpun di wajibkan untuk memilih salah satu calon yang ada namun dalam kenyataannya tidak semua warga memberikan hak pilihnya atau dapat di sebut sebagai golput.

Dalam kaitannya permeasalahan tersebut yaitu golput sebaiknya kita jangan menyimpulkan secara cepat bahwa orang yang melakukan hal tersebut itu partisipasi politiknya kurang, sebaiknya kita melihat terlebih dahulu alasan mengapa banyak masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya seperti yang sudah di tetapkan.

Banyak hal dan alasan yang disampaikan oleh masyarakat yang melakukan golput. Namun dari beberapa alasan yang ada, semuanya lebih menjurus kepada ketidak percayaan masyarakat terhadap calon yang ada dan pemimpin yang ada sekarang dan di era sekarang. Pertanyaannya yang dapat kita tarik adalah mengapa masyarakat tidak percaya dengan calon atau pemimpin negara atau lembaga negara?  Saya selaku penulis analisis ini memprediksi kenapa terjadi hal semacam itu, itu karena masyarakat melihat banyak masalah yang terjadi di pemerintahan dan menyangkut pemimpin yang dipilih rakyat contohnya masalah korupsi. Masyarakat sudah bosan dengan kabar dan kasus – kasus yang menjerat tokoh pemerintahan terutama masalah korupsi. Masyarakat menilai pembangunan yang ada sekarang, pengembangan SDM maupun SDA masih angat kurang bahakan kesejahteraanpun masih jauh dari kata sejahtera namun pemimpin atau pemegang kekuasaan yang ada malah melakukan korupsi dan memakan uang rakyat untuk pribadinya, hal ini pula yang membuat geram masyarakat, itu hanya salah satu contoh masalah yang memicu terjadinya golput. Kenapa terjadi korupsi? Berdasar analisis saya, korupsi selain terjadi karena moral yang rusak ada lagi yang memicu hal tersebut yaitu contohnya pencalonan kader kader dengan cara membayar kepada parpol-parpol yang ada sebagai pendukungnya, pastinya jika dia menang dalam pencalonan maka setelah dipilih dia akan berusaha mengembalikan uang yang sudah keluar beserta keuntungan sebagai gajinya, tidak mungkin orang pingin rugi pastinya pingin untung.

Faktor lain penyebab terjadinya golput adalah tingkat ekonomi masyarakat. Orang yang ekonominya rendah kadang kalah lebih mementingkat uang dari pada pemilu dan partisipasinya karena mereka menganggap buat apa menghadiri pemilu, lebih baik saya bekerja dan mendapatkan uang untuk makan dari pada saya datang untuk memilih tidak kerja dan tidak dapat uang lalu pemimpin yang saya pilih juga tidak memperhatikan saya setelah jadi nanti. Itu adalah salah satu pemikiran masyarakat ekonomi rendah, namun ternyata orang yang kategorinya ekonomi tinggi juga ada yang melakukan golput dengan alasan buat apa saya memilih mereka untuk mensejahterakan saya, karena tanpa merekapun saya sudah sejahtera. Itu salah satu pemikiran orang ekonomi yang tinggi karena tidak mau repot repot memilih.

Faktor lain lagi penyebab golput adalah karena masyarakat kurang sosialisasi. Masyarakat tidak mengenal calon calon yang ada bahkan yang lebih parahnya adalah ada masyarakat yang tidak tahu bahwa adanya pemilu, itu sangat riskan sekali bahwa ternyata pemilu di indonesia adalah formalitas belaka namun dalam pelaksanaannya masih banyak kekurangan di sana- sini. Apakah dengan adanya hal semacam ini masih pantaskah indonesia sebagai kiblat demokarasi.

Dari berbagai faktor di atas adalah hanya sebagian analisi saya dan survei yang saya lakukan di lingkungan masyarakat yang saya tahu. Pastinya setiap orang mempunyai analisis dan pendapat sendiri jadi analisis di atas tidak bersifat pasti namun dapat berubah disetiap waktunya dan tergantung si penganalisis. Jadi saya selaku penulis berharap pembaca bisa lebih seksama dalam menanggapi analisis atau bacaan di atas.

SISTEM POLITIK INDONESIA



SISTEM POLITIK INDONESIA

Kemampuan suatu sistem politik menurut Almond terdiri atas kemampuan regulatif, ekstraktif, distributif, simbolis, dan responsif. Almond menyebutkan bahwa pada negara-negara demokratis, output dari kemampuan regulatif, ekstraktif, dan distributif lebih dipengaruhi oleh tuntutan dari kelompok-kelompok kepentingan sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat demokratis memiliki kemampuan responsif yang lebih tinggi daripada masyarakat non demokratis. Sementara pada sistem totaliter, output yang dihasilkan kurang responsif pada tuntuan, perilaku regulatif bercorak paksaan, serta lebih menonjolkan kegiatan ekstraktif dan simbolik maksimal atas sumber daya masyarakatnya.
  • Kemampuan ekstraktif adalah kemampuan sistem politik dalam mendayagunakan sumber-sumber daya material ataupun manusia baik yang berasal dari lingkungan domestik (dalam negeri) maupun internasional. Dalam hal kemampuan ekstraktif ini Indonsia lebih besar ketimbang Timor Leste, karena faktor sumber daya manusia maupun hasil-hasil alam yang dimilikinya. Namun, kemampuan Indonesia dalam konteks ini lebih kecil ketimbang Cina.
  • Kemampuan regulatif adalah kemampuan sistem politik dalam mengendalikan perilaku serta hubungan antar individu ataupun kelompok yang ada di dalam sistem politik. Dalam konteks kemampuan ini sistem politik dilihat dari sisi banyaknya regulasi (undang-undang dan peraturan) yang dibuat serta intensitas penggunaannya karena undang-undang dan peraturan dibuat untuk dilaksanakan bukan disimpan di dalam laci pejabat dan warganegara. Selain itu, kemampuan regulatif berkaitan dengan kemampuan ekstraktif di mana proses ekstraksi membutuhkan regulasi.
  • Kemampuan distributif adalah kemampuan sistem politik dalam mengalokasikan barang, jasa, penghargaan, status, serta nilai-nilai (misalnya seperti nilai yang dimaksud Lasswell) ke seluruh warganegaranya. Kemampuan distributif ini berkaitan dengan kemampuan regulatif karena untuk melakukan proses distribusi diperlukan rincian, perlindungan, dan jaminan yang harus disediakan sistem politik lewat kemampuan regulatif-nya.
  • Kemampuan simbolik adalah kemampuan sistem politik untuk secara efektif memanfaatkan simbol-simbol yang dimilikinya untuk dipenetrasi ke dalam masyarakat maupun lingkungan internasional. Misalnya adalah lagu-lagu nasional, upacara-upacara, penegasan nilai-nilai yang dimiliki, ataupun pernyataan-pernyataan khas sistem politik. Simbol adalah representasi kenyataan dalam bahasa ataupun wujud sederhana dan dapat dipahami oleh setiap warga negara. Simbol dapat menjadi basis kohesi sistem politik karena mencirikan identitas bersama. Salah satu tokoh politik Indonesia yang paling mahir dalam mengelola kemampuan simbolik ini adalah Sukarno dan pemerintah Indonesia di masa Orde Baru.
  • Kemampuan responsif adalah kemampuan sistem politik untuk menyinkronisasi tuntutan yang masuk melalui input dengan keputusan dan tindakan yang diambil otoritas politik di lini output. Sinkronisasi ini terjadi tatkala pemerintahan SBY mampu melakukan sinkronisasi antara tuntutan pihak Gerakan Aceh Merdeka dengan keputusan untuk melakukan perundingan dengan mereka serta melaksanakan kesepakatan Helsinki hasil mediasi. Sinkronisasi ini membuat tuntutan dari Aceh tidak lagi meninggi kalau bukan sama sekali lenyap.
Berdasarkan berbagai sumber dan informasi saya selaku penulis menganalisis tentang kapabilitas politik dengan di perkuat oleh materi perkulihan Uwes Fatoni, M.Ag pada tanggal 28 maret 2006.
Sejarah Sistem Politik Indonesia bisa dilihat dari proses politik yang terjadi di dalamnya. Namun dalam menguraikannya tidak cukup sekedar melihat sejarah Bangsa Indonesia tapi diperlukan analisis sistem agar lebih efektif. Dalam proses politik biasanya di dalamnya terdapat interaksi fungsional yaitu proses aliran yang berputar menjaga eksistensinya. Sistem politik merupakan sistem yang terbuka, karena sistem ini dikelilingi oleh lingkungan yang memiliki tantangan dan tekanan.
Dalam melakukan analisis sistem bisa dengan pendekatan satu segi pandangan saja seperti dari sistem kepartaian, tetapi juga tidak bisa dilihat dari pendekatan tradisional dengan melakukan proyeksi sejarah yang hanya berupa pemotretan sekilas. Pendekatan yang harus dilakukan dengan pendekatan integratif yaitu pendekatan sistem, pelaku-saranan-tujuan dan pengambilan keputusan
Proses politik mengisyaratkan harus adanya kapabilitas sistem. Kapabilitas sistem adalah kemampuan sistem untuk menghadapi kenyataan dan tantangan. Pandangan mengenai keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini berbeda diantara para pakar politik. Ahli politik zaman klasik seperti Aristoteles dan Plato dan diikuti oleh teoritisi liberal abad ke-18 dan 19 melihat prestasi politik dikuru dari sudut moral. Sedangkan pada masa modern sekarang ahli politik melihatnya dari tingkat prestasi (performance level) yaitu seberapa besar pengaruh lingkungan dalam masyarakat, lingkungan luar masyarakat dan lingkungan internasional.
Pengaruh ini akan memunculkan perubahan politik. Adapun pelaku perubahan politik bisa dari elit politik, atau dari kelompok infrastruktur politik dan dari lingkungan internasional.
Perubahan ini besaran maupun isi aliran berupa input dan output. Proes mengkonversi input menjadi output dilakukan oleh penjaga gawang (gatekeeper).
Terdapat 5 kapabilitas yang menjadi penilaian prestasi sebuah sistem politik :
1. Kapabilitas Ekstraktif, yaitu kemampuan Sumber daya alam dan sumber daya manusia. Kemampuan SDA biasanya masih bersifat potensial sampai kemudian digunakan secara maksimal oleh pemerintah. Seperti pengelolaan minyak tanah, pertambangan yang ketika datang para penanam modal domestik itu akan memberikan pemasukan bagi pemerintah berupa pajak. Pajak inilah yang kemudian menghidupkan negara.
2. Kapabilitas Distributif. SDA yang dimiliki oleh masyarakat dan negara diolah sedemikian rupa untuk dapat didistribusikan secara merata, misalkan seperti sembako yang diharuskan dapat merata distribusinya keseluruh masyarakat. Demikian pula dengan pajak sebagai pemasukan negara itu harus kembali didistribusikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
3. Kapabilitas Regulatif (pengaturan). Dalam menyelenggaran pengawasan tingkah laku individu dan kelompok maka dibutuhkan adanya pengaturan. Regulasi individu sering memunculkan benturan pendapat. Seperti ketika pemerintah membutuhkan maka kemudian regulasi diperketat, hal ini mengakibatkan keterlibatan masyarakat terkekang.
4. kapabilitas simbolik, artinya kemampuan pemerintah dalam berkreasi dan secara selektif membuat kebijakan yang akan diterima oleh rakyat. Semakin diterima kebijakan yang dibuat pemerintah maka semakin baik kapabilitas simbolik sistem.
5. kapabilitas responsif, dalam proses politik terdapat hubungan antara input dan output, output berupa kebijakan pemerintah sejauh mana dipengaruhi oleh masukan atau adanya partisipasi masyarakat sebagai inputnya akan menjadi ukuran kapabilitas responsif.
6. kapabilitas dalam negeri dan internasional. Sebuah negara tidak bisa sendirian hidup dalam dunia yang mengglobal saat ini, bahkan sekarang banyak negara yang memiliki kapabilitas ekstraktif berupa perdagangan internasional. Minimal dalam kapabilitas internasional ini negara kaya atau berkuasa (superpower) memberikan hibah (grants) dan pinjaman (loan) kepada negara-negara berkembang.
Ada satu pendekatan lagi yang dibutuhkan dalam melihat proses politik yaitu pendekatan pembangunan, yang terdiri dari 2 hal:
a. Pembangunan politik masyarakat berupa mobilisasi, partisipasi atau pertengahan. Gaya agregasi kepentingan masyarakat ini bisa dilakukans ecara tawaran pragmatik seperti yang digunakan di AS atau pengejaran nilai yang absolut seperti di Uni Sovyet atau tradisionalistik.
b. Pembangunan politik pemerintah berupa stabilitas politik
PROSES POLITIK DI INDONESIA
Sejarah Sistem politik Indonesia dilihat dari proses politiknya bisa dilihat dari masa-masa berikut ini:
- Masa prakolonial
- Masa kolonial (penjajahan)
- Masa Demokrasi Liberal
- Masa Demokrasi terpimpin
- Masa Demokrasi Pancasila
- Masa Reformasi
Masing-masing masa tersebut kemudian dianalisis secara sistematis dari aspek :
 Penyaluran tuntutan
 Pemeliharaan nilai
 Kapabilitas
 Integrasi vertikal
 Integrasi horizontal
 Gaya politik
 Kepemimpinan
 Partisipasi massa
 Keterlibatan militer
 Aparat negara
 Stabilitas
Bila diuraikan kembali maka diperoleh analisis sebagai berikut :
1. Masa prakolonial (Kerajaan)
 Penyaluran tuntutan – rendah dan terpenuhi
 Pemeliharaan nilai – disesuikan dengan penguasa atau pemenang peperangan
 Kapabilitas – SDA melimpah
 Integrasi vertikal – atas bawah
 Integrasi horizontal – nampak hanya sesama penguasa kerajaan
 Gaya politik - kerajaan
 Kepemimpinan – raja, pangeran dan keluarga kerajaan
 Partisipasi massa – sangat rendah
 Keterlibatan militer – sangat kuat karena berkaitan dengan perang
 Aparat negara – loyal kepada kerajaan dan raja yang memerintah
 Stabilitas – stabil dimasa aman dan instabil dimasa perang
2. Masa kolonial (penjajahan)
 Penyaluran tuntutan – rendah dan tidak terpenuhi
 Pemeliharaan nilai – sering terjadi pelanggaran ham
 Kapabilitas – melimpah tapi dikeruk bagi kepentingan penjajah
 Integrasi vertikal – atas bawah tidak harmonis
 Integrasi horizontal – harmonis dengan sesama penjajah atau elit pribumi
 Gaya politik – penjajahan, politik belah bambu (memecah belah)
 Kepemimpinan – dari penjajah dan elit pribumi yang diperalat
 Partisipasi massa – sangat rendah bahkan tidak ada
 Keterlibatan militer – sangat besar
 Aparat negara – loyal kepada penjajah
 Stabilitas – stabil tapi dalam kondisi mudah pecah
3. Masa Demokrasi Liberal
 Penyaluran tuntutan – tinggi tapi sistem belum memadani
 Pemeliharaan nilai – penghargaan HAM tinggi
 Kapabilitas – baru sebagian yang dipergunakan, kebanyakan masih potensial
 Integrasi vertikal – dua arah, atas bawah dan bawah atas
 Integrasi horizontal- disintegrasi, muncul solidarity makers dan administrator
 Gaya politik - ideologis
 Kepemimpinan – angkatan sumpah pemuda tahun 1928
 Partisipasi massa – sangat tinggi, bahkan muncul kudeta
 Keterlibatan militer – militer dikuasai oleh sipil
 Aparat negara – loyak kepada kepentingan kelompok atau partai
 Stabilitas - instabilitas
4. Masa Demokrasi terpimpin
 Penyaluran tuntutan – tinggi tapi tidak tersalurkan karena adanya Front nas
 Pemeliharaan nilai – Penghormatan HAM rendah
 Kapabilitas – abstrak, distributif dan simbolik, ekonomi tidak maju
 Integrasi vertikal – atas bawah
 Integrasi horizontal – berperan solidarity makers,
 Gaya politik – ideolog, nasakom
 Kepemimpinan – tokoh kharismatik dan paternalistik
 Partisipasi massa - dibatasi
 Keterlibatan militer – militer masuk ke pemerintahan
 Aparat negara – loyal kepada negara
 Stabilitas - stabil
5. Masa Demokrasi Pancasila
 Penyaluran tuntutan – awalnya seimbang kemudian tidak terpenuhi karena fusi
 Pemeliharaan nilai – terjadi Pelanggaran HAM tapi ada pengakuan HAM
 Kapabilitas – sistem terbuka
 Integrasi vertikal – atas bawah
 Integrasi horizontal - nampak
 Gaya politik – intelek, pragmatik, konsep pembangunan
 Kepemimpinan – teknokrat dan ABRI
 Partisipasi massa – awalnya bebas terbatas, kemudian lebih banyak dibatasi
 Keterlibatan militer – merajalela dengan konsep dwifungsi ABRI
 Aparat negara – loyal kepada pemerintah (Golkar)
 Stabilitas stabil
6. Masa Reformasi
 Penyaluran tuntutan – tinggi dan terpenuhi
 Pemeliharaan nilai – Penghormatan HAM tinggi
 Kapabilitas –disesuaikan dengan Otonomi daerah
 Integrasi vertikal – dua arah, atas bawah dan bawah atas
 Integrasi horizontal – nampak, muncul kebebasan (euforia)
 Gaya politik - pragmatik
 Kepemimpinan – sipil, purnawiranan, politisi
 Partisipasi massa - tinggi
 Keterlibatan militer - dibatasi
 Aparat negara – harus loyal kepada negara bukan pemerintah
 Stabilitas - instabil