“Sindroma Kepiting”
Dan
persaingan elit politik
Pernahkah anda melihat penjual kepiting
hidup? Keranjang ataupun wadah kepiting itu tidak pernah ditutupi. Ajaibnya
kepiting-kepiting itu tidak ada yang keluar dan kabur, kenapa? Jawabannya,
ketika seekor kepiting berusaha memanjat untuk keluar, maka kepiting lainnya
akan saling mengait dan menjatuhkan begitupun seterusnya, sehingga si penjual
tidak perlu menutup wadah agar kepiting tidak keluar karena kenyataannya tidak
ada kepiting yang berhasil keluar dari keranjang tersebut.
Rupanya soal kait-mengkait,
jatuh-menjatuhkan tidak hanya fenomena instingtual kepiting saja. Manusiapun
ternyata punya naluri itu, baik karena alasan survival ataupun untuk alasan
lainnya. Bisa karena dorongan ingin mendapat lebih atau karena dorongan untuk
menang dan mengusai pihak lain.
Salahkah bila manusia ingin unggul
ataupun menang? Tidak. Karena itu memang motivasi dari dalam diri manusia
secara alami namun apakah harus dengan saling menjatuhkan seperti kepiting yang
tadi saya jelaskan? Tentunya tidak. Seharusnya kita bersaing secara sehat,
profesional dan harus jujur tidak boleh saling menjatuhkan karena bagaimanapun
itu kita saling membutuhkan dan punya tujuan sama terutama para elit politik.
Mereka kan seharusnya punya tujuan sama yaitu membangun dan membuat negara atau
bangsa menjadi lebih baik, terus buat apa saling menjatuhkan ? bukannya
seharusnya kita harus saling bekerjasama, kompak, saling menghargai agar
kaki-kaki bangsa kita ini kuat lalu baru berjalan. Kalu kaki penggeraknya saja
cacat bagaimana ingin berjalan.
Namun, kita sebaiknya lebih berfikir
positif satu sama lain karena saya menulis artikel ini bukan mengada-ada namun
hanya sebagai ungkapan dari saya setelah melihat keadaan politisi sekarang yang
mulai saling menjatuhkan dan saling mengejek satu sama lain tidak ada rasa malu
dilihat oleh masyarakat saling emosi, padahal merekalah yang menjalan negara
ini untuk mampu memajukannya.
Orang filipina punya sebutan yang
tipikal untuk gejala ini yakni sindroma talangka.
Bila diterjemahkan kedalam bahasa indonesia artinya sama yaitu sindromah
kepiting. Tidak begitu jelas mengapa masyarakat di sana sangat peka dengan
fenomena ini. Apakah karena dejala ini “khas” milik mereka? Atau memang gejala
seperti ini sangat umum dijumpai disana? Rasanya tidak. Bila kitak ingin jujur
mencermati perkembangan akhir-akhir ini dinegeri kita, terutama dalam
persaingan elit politik, rasanya kita tidak perlu belajar pada talangka.
Beruntunglah masyarakat filipina yang sadar dan tanggap untuk belajar dari
kepiting. Sementara kita di indonesia, sudah sedemikian sering mempratikkan
sindroma ini tapi tidak pernah punya”sebutan” khusus untuk gejala ini.
Kompetisi ataupun persaingan dalam
merebutkan pengaruh sebenarnya lumrah dan justru merupakan hakikat dari
kehidupan politik. Persaingan diperlukan untuk menggerakan “drive” dan motivasi
kelompok untuk berbuat yang terbaik. Dengan adanya dorongan untuk menampilkan
yang terbaik, rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam politik demokrasi
, punya opsi yang lebih baik dalam menentukan kepada siapa kedaulatan politik
dipercayakan. Namun tentunya persaingan ini harus ditata dalam koridor dan
aturan main yang beretika dan berkeperadaban.
Aturan-aturan main ini ada yang sudah
sedemikian jelas karena sudah dilembagakan, namun ada juga tidak terlalu jelas.
Lantas kalau tidak jelas kemana kita harus merujuk, masih ada apa yang
dinamakan etika dan moral poliyik. Politik yang beretika dan bermoral
seharusnya tidak bertentangan dengan kebenaran dan hati nurani kita sebagai
manusia yang beragama dan punya hati kecil yang mulia.
Salam hangat dariku
No comments:
Post a Comment