Monday, 27 October 2014

BERBAGAI MASALAH ELIT POLITIK





“Sindroma Kepiting”
Dan persaingan elit politik

Pernahkah anda melihat penjual kepiting hidup? Keranjang ataupun wadah kepiting itu tidak pernah ditutupi. Ajaibnya kepiting-kepiting itu tidak ada yang keluar dan kabur, kenapa? Jawabannya, ketika seekor kepiting berusaha memanjat untuk keluar, maka kepiting lainnya akan saling mengait dan menjatuhkan begitupun seterusnya, sehingga si penjual tidak perlu menutup wadah agar kepiting tidak keluar karena kenyataannya tidak ada kepiting yang berhasil keluar dari keranjang tersebut.

Rupanya soal kait-mengkait, jatuh-menjatuhkan tidak hanya fenomena instingtual kepiting saja. Manusiapun ternyata punya naluri itu, baik karena alasan survival ataupun untuk alasan lainnya. Bisa karena dorongan ingin mendapat lebih atau karena dorongan untuk menang dan mengusai pihak lain.

Salahkah bila manusia ingin unggul ataupun menang? Tidak. Karena itu memang motivasi dari dalam diri manusia secara alami namun apakah harus dengan saling menjatuhkan seperti kepiting yang tadi saya jelaskan? Tentunya tidak. Seharusnya kita bersaing secara sehat, profesional dan harus jujur tidak boleh saling menjatuhkan karena bagaimanapun itu kita saling membutuhkan dan punya tujuan sama terutama para elit politik. Mereka kan seharusnya punya tujuan sama yaitu membangun dan membuat negara atau bangsa menjadi lebih baik, terus buat apa saling menjatuhkan ? bukannya seharusnya kita harus saling bekerjasama, kompak, saling menghargai agar kaki-kaki bangsa kita ini kuat lalu baru berjalan. Kalu kaki penggeraknya saja cacat bagaimana ingin berjalan.

Namun, kita sebaiknya lebih berfikir positif satu sama lain karena saya menulis artikel ini bukan mengada-ada namun hanya sebagai ungkapan dari saya setelah melihat keadaan politisi sekarang yang mulai saling menjatuhkan dan saling mengejek satu sama lain tidak ada rasa malu dilihat oleh masyarakat saling emosi, padahal merekalah yang menjalan negara ini untuk mampu memajukannya.

Orang filipina punya sebutan yang tipikal untuk gejala ini yakni sindroma talangka. Bila diterjemahkan kedalam bahasa indonesia artinya sama yaitu sindromah kepiting. Tidak begitu jelas mengapa masyarakat di sana sangat peka dengan fenomena ini. Apakah karena dejala ini “khas” milik mereka? Atau memang gejala seperti ini sangat umum dijumpai disana? Rasanya tidak. Bila kitak ingin jujur mencermati perkembangan akhir-akhir ini dinegeri kita, terutama dalam persaingan elit politik, rasanya kita tidak perlu belajar pada talangka. Beruntunglah masyarakat filipina yang sadar dan tanggap untuk belajar dari kepiting. Sementara kita di indonesia, sudah sedemikian sering mempratikkan sindroma ini tapi tidak pernah punya”sebutan” khusus untuk gejala ini.

Kompetisi ataupun persaingan dalam merebutkan pengaruh sebenarnya lumrah dan justru merupakan hakikat dari kehidupan politik. Persaingan diperlukan untuk menggerakan “drive” dan motivasi kelompok untuk berbuat yang terbaik. Dengan adanya dorongan untuk menampilkan yang terbaik, rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam politik demokrasi , punya opsi yang lebih baik dalam menentukan kepada siapa kedaulatan politik dipercayakan. Namun tentunya persaingan ini harus ditata dalam koridor dan aturan main yang beretika dan berkeperadaban.

Aturan-aturan main ini ada yang sudah sedemikian jelas karena sudah dilembagakan, namun ada juga tidak terlalu jelas. Lantas kalau tidak jelas kemana kita harus merujuk, masih ada apa yang dinamakan etika dan moral poliyik. Politik yang beretika dan bermoral seharusnya tidak bertentangan dengan kebenaran dan hati nurani kita sebagai manusia yang beragama dan punya hati kecil yang mulia.



Salam hangat dariku

No comments:

Post a Comment